Dalam rangka memberikan support bagi Laoshi Yesica yang mengikuti kejuaran Taijiquan di Gor Ranau Jakabaring Palembang, ada satu momen saya dan keluarga beserta rekan-rekan mahasiswa seangkatan dari kota Pelembang berkesempatan mengunjungi tempat peristirahatan terakhir kedua orang tua terkasih dari Halim Susanto.
Sekilas tidak ada yang istimewa dan tampak biasa saja seperti kuburan atau tempat peristirahatan lainya. Hanya, yang membuat saya bertanya dan memang saya baru melihat bentuk kuburan demikian. Walau di gunung Gadung Bogor banyak kuburan mewah, tapi konsep dan bentuknya tidaklah sama. Didorong oleh rasa ingin tahu dan penasaran, maka saya berusaha bertanya pada Suhu Chandra Pasadena selaku desainer bentuk dan rupa dari kuburan/pusara tersebut.
Yang berbeda dari pusara/ kuburan itu dari yang lainya adalah, gundukan tanah yang melingkari Pusara, dan ada aliran air di kedua sisinya menuju bak kotak persegi empat. Setelah saya tanyakan ke Suhu Chandra, ternyata itu adalah simbol dari Gunung dan Air. Penempatan atau tataletak tersebut sudah melalui perhitungan yang cermat (Hong Swi). Bagi saya, HongSwi adalah hal yang sangat familiar, tapi mendengar Gunung dan aliran Air ini yang mencerahkan bagi saya, karena saya teringat akan Sabda Nabi yang terdapat dalam Kitab Lun Yu Jilid : VI, 23. Nabi bersabda, “Yang bijaksana gemar akan air, yang berpricintakasih gemar akan Gunung, yang bijaksana tangkas dalam perbuatan, yang berpricintakaih tentram, yang bijaksana gembira dan yang berpricintakasih tahan menderita.” dan mengapa saya memberi judul “Tempat yang mencerahkan”? Ya memang demikian adanya karena di dalam Ajaran Nabi hanya ada awal dan akhir laku bakti. Awal laku bakti adalah menjaga tubuh warisan Ayah Bunda, sedangkan akhir laku bakti adalah menegakan diri menempuh jalan suci. Sehingga, memuliakan nama Ayah dan Bunda itulah akhir laku Bakti. Melayani dan menyembahyangi Ayah Bunda dengan kesusilaan inilah tengah laku bakti. Maka tindakan melihat atau mengamati tempat yang terbaik bagi peristirahatan kedua orang tua kita adalah tindakan tengah laku bakti. Ketika membaca ayat LunYu, Jilid : VI, 23, saya tidak tahu arti dan maknanya. Tetapi ketika saya melihat dan mendengar penjelasan Suhu Chandra, maka saya dapat mengerti arti dan makna dari ayat tersebut.
Bahwa air dan gunung itu adalah lambang dari sebuah kesempurnaan yang terdapat dalam Liang Yi, atau dua unsur. Gunung, diam melambangkan (-), sedangkan air, bergerak aktif melambangkan (+). Yang bijaksana gemar akan air. Artinya, iya menerima apa adanya. Ketika hujan turun, maka dia menerima sebagaimana adanya kehendak alam. Demikian juga ketika panas menyengat dan terasa membakar tubuh, maka dia pun menerima apa adanya sebagai kehendak alam.
Air pun mempunyai sifat seperti itu (Bijaksana). Ketika diberi aliran ke timur, maka dia akan mengalir ke timur. Ketika dia dialiri ke barat, maka dia akan mengalir ke barat. Iya selalu bergerak aktif mencari terobosan baru tapi tetap rendah hati dan tidak sombong. Sebab, air selalu mengalir ke bawah (jika benar teguh ada rahmat).
Yang berpricintakasih gemar akan gunung. Artinya, walau dalam diam, tidak aktif, dia dapat memberi energi positif bagi lingkunganya dan alam semesta. Ciptanya selalu tertuju pada cintakasih, seperti gunung yang selalu dapat memberikan oksigen bagi kehidupan manusia (murni, diam rahmat).
Yang bijaksana, tangkas dalam perbuatan. Artinya, iya selalu menjadi pelopor dalam berjerih payah. Sebab, air aktif dan positif maka sangsusilawan tidak jemu memacu diri (maju bergerak tanpa bimbang, benar tepat rahmat).
Yang berpricintakasih, tentram. Artinya, orang yang berprincintakasih tidak akan bersaing, tidak ingin terpandang, niatnya hanya ingin meringankan dan membantu masalah orang lain agar orang terbebas dari masalah atau penderitaanya dan merasakan kebahagiaan. Maka dia sudah sampai di tempat hentianya. Sebagai anak, berhenti pada sikap bakti pada ayah dan ibu. Sebagai bawahan, berhenti pada sikap hormat pada atasan, dan cekatan dalam tugas. Maka sentosalah dalam kedudukanya.
Yang bijaksana, gembira. Artinya karena dia dapat menerima dua fenomena yang terjadi dengan kelurusan, maka di situlah kebahagiaan. Maka Meng Zi pun mengingatkan, “Bahwa tiada sesuatu yang bukan karena Firman maka terimalah itu dengan taat didalam kelurusan.”
Yang berpricintakasih, tahan menderita. Artinya, apapun yang kita terima itu adalah firman. Maka jangan berkeluh gerutu dan bersesal penyalahan kepada sesama. Orang yang berperincintakasih itu akan mengorbankan kebahagiaanya demi kebahagiaan mahluk lain. Bahkan, ada yang rela untuk menyempurnakan cintakasihnya dia mengorbankan dirinya.
Demikianlah uraian dan pendapat saya tentang ayat tersebut yang tentunya bahasan ini hanya sebagian kecil karena jika dikupas tuntas mungkin membutuhkan beribu halaman dari satu Sabda Nabi tentang gunung dan air, tentang yang Bijaksana dan berpricintaksih. Semoga Ajaran Nabi Kong Zi yang sangat mulia dan luhur dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Semoga pula kita mempunyai kekuatan dan berkesempatan untuk menjalankan laku bakti dari awal, tengah, sampai akhir laku bakti. Shanzai
Js Haryanto (Rohaniwan Khonghucu & Mahasiswa STIKIN, Purwokerto)